Malang, www.indomedia24.com – Kota Malang, yang dikenal dengan udara sejuk dan pesona alamnya, menyimpan sisi kehidupan yang tak banyak terlihat oleh mata. Di balik kemegahan pusat kota dan hiruk pikuk aktivitas ekonomi, ada sebuah realitas yang tak terhindarkan, kehidupan anak-anak jalanan dan pengemis yang setiap hari berjuang untuk bertahan hidup.
Di banyak sudut kota, mereka terlihat berjalan kaki atau duduk di pinggir jalan, meminta belas kasihan dari para pengendara atau pejalan kaki. Namun, di balik pandangan mata yang penuh keletihan, tersembunyi kisah kehidupan yang jauh lebih rumit dan penuh perjuangan.
Anak-anak jalanan di Kota Malang bukan sekadar sosok yang mencari uang dengan cara mengemis atau menjadi pengamen. Mereka adalah anak-anak yang terjebak dalam kemiskinan dan ketidakpastian hidup. Sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga yang tak mampu memberikan pendidikan yang layak, sementara sebagian lainnya terpaksa meninggalkan rumah karena masalah keluarga, seperti kekerasan dalam rumah tangga atau perceraian orang tua.
Salah satu contoh adalah Riko (14), seorang anak yang tinggal di pinggiran Kota Malang. Setiap pagi, ia berjalan kaki menuju pusat kota untuk mengamen di jalanan. “Saya harus mengamen supaya bisa makan. Kadang cuma dapat uang seribu atau dua ribu, tapi itu cukup buat makan siang,” ujar Riko dengan wajah serius. Riko, seperti banyak anak jalanan lainnya, memiliki mimpi yang besar meskipun terbatas oleh kondisinya. “Saya ingin sekolah, tapi untuk sekarang saya hanya bisa membantu ibu yang juga kesulitan mencari nafkah,” ungkapnya dengan wajah sedih.
Riko dan teman-temannya menghabiskan waktu di jalanan, mencari sisa-sisa rezeki dari setiap orang yang mereka temui. Namun, hidup di jalan penuh dengan risiko, mulai dari ancaman kekerasan, penyakit, hingga sulitnya akses untuk mendapatkan pendidikan. “Kadang, kalau sudah malam, saya tidur di emperan toko atau di jembatan. Kalau hujan, ya kami berlindung di mana pun ada tempat,” tambah Riko.
Sementara itu, di sudut-sudut kota yang ramai, pengemis menjadi pemandangan yang sulit untuk dihindari. Di Kota Malang, mereka bisa ditemukan di alun-alun, dekat pusat perbelanjaan, bahkan di dekat tempat ibadah. Mereka duduk atau berdiri dengan wajah lesu, menengadahkan tangan memohon belas kasihan, berharap ada yang peduli dengan keadaan mereka.
Pak Amir (55) pengemis yang terlihat di Alun-Alun Malang. Setiap pagi, ia duduk di bawah pohon besar, dengan topi lusuh yang menutupi wajahnya yang keriput. “Saya dulu punya pekerjaan, tapi karena sakit, saya tidak bisa lagi bekerja. Istri saya sudah meninggal, anak-anak saya juga jauh, jadi saya tinggal sendiri di jalan,” katanya, sambil menundukkan kepala. Meskipun hidupnya penuh dengan kesulitan, Pak Amir tetap merasa bersyukur. “Kadang ada orang yang memberi saya makanan atau uang, dan itu sudah cukup buat bertahan,” tambahnya.
Namun, menjadi pengemis bukanlah pilihan yang mudah. Selain harus menghadapi pandangan sinis dari sebagian masyarakat, mereka juga rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan. Pak Amir mengungkapkan, bahwa sering kali ia merasa diperlakukan tidak manusiawi. “Kadang saya dimaki, dibilang pengemis yang cuma mengharapkan belas kasihan. Tapi saya tidak punya pilihan, saya hanya ingin hidup,” tuturnya sambil mengelus dadanya.
Dibalik kisah-kisah ini, ada realitas sosial yang lebih besar yang perlu diperhatikan. Banyak masyarakat yang merasa terganggu atau bahkan jijik dengan kehadiran anak jalanan dan pengemis di sekitar mereka. Stigma terhadap mereka sering kali menghalangi mereka untuk mendapatkan bantuan yang dibutuhkan.
Namun, beberapa organisasi sosial dan relawan di Kota Malang berusaha memberikan bantuan bagi mereka. Salah satunya adalah program yang dilakukan oleh KSK Indonesia, yang memberikan bantuan kepada anak jalanan dan pengemis. “Kadang kami memberikan baju pada anak jalanan dan pengemis yang membutuhkan, sesekali bantuan pangan,” ujar Leha, salah satu relawan KSK Indonesia tersebut, pada Selasa, 25 Maret 2025.
Upaya-upaya ini penting, mengingat bahwa anak-anak jalanan dan pengemis bukanlah masalah yang bisa diatasi dalam waktu singkat. Mereka membutuhkan perhatian jangka panjang, baik dalam bentuk pendidikan, dukungan psikologis, maupun bantuan untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
Meskipun kehidupan mereka penuh dengan kesulitan, baik anak jalanan maupun pengemis tetap memiliki harapan yang tak padam. Mereka masih bermimpi, meski dengan segala keterbatasan yang ada. Riko, meskipun hanya bisa mengamen di jalanan, masih berharap suatu saat nanti bisa kembali ke sekolah. “Saya ingin bisa bekerja dengan pekerjaan yang lebih baik. Mungkin suatu hari nanti, saya bisa bantu ibu saya dan punya kehidupan yang lebih baik,” katanya dengan mata yang berbinar.
Bagi Pak Amir, harapan hidup sederhana adalah yang terpenting. “Saya hanya ingin punya tempat tinggal yang layak, bisa makan dengan tenang tanpa harus takut besok hari tidak ada apa-apa,” ujarnya sambil tersenyum tipis.
Ditengah tantangan besar yang mereka hadapi, anak-anak jalanan dan pengemis di Kota Malang tidak hanya sekadar bertahan hidup, tetapi juga mencari cara untuk menemukan kembali harapan. Meski tak mudah, mereka adalah bagian dari masyarakat yang memerlukan perhatian lebih dari kita semua, baik pemerintah, masyarakat, maupun organisasi sosial.
Dengan dukungan yang tepat, baik dalam bentuk bantuan sosial, pendidikan, dan kesempatan kerja, mereka dapat keluar dari siklus kemiskinan dan kesulitan yang mereka alami. Karena pada akhirnya, setiap orang berhak untuk bermimpi dan memiliki kehidupan yang lebih baik, tanpa terjebak dalam kehidupan yang hanya berputar di jalanan. (Jo)